BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata
dha’if menurut bahasa berarti yang lemah, lawan dari kata qawiy yang berarti yang kuat. Hadist dha’if secara bahasa berarti “Hadist yang lemah”.
Secara
terminologi, yang di maksud dengan hadist dha’if
ialah:
“Ialah hadist yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadist sahih atau hadist hasan”
(Rahman: 140).
Mengenai
jenis hadist dha’if
sangat banyak sekali, sesuai dengan
keanekaragaman penyebabnya, dan masing-masing mempunyai tingkatan yang berbeda
pula. Kedha’ifan suatu hadist bisa
terjadi pada sanad atau pada matan. Kedha’ifan pada sanad bisa terjadi
persambungan sanadnya (ittisal as-sanad),
dan bisa pula kualitas ketsiqahannya. Sedangkan kedha’ifan pada matan bisa terjadi pada sandaran matan itu sendiri
dan bisa pula pada kesyadzannya.
B.
Permasalahan
Permasalahan
yang diambil penyusun dan termasuk batasan pembahasan yang akan dibahas adalah:
pengertian, klasifikasi, dan macam-macam hadist dha’if .
C.
Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah yang berjudul “Hadist Dha’if”
ini, selain untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Hadist juga bertujuan
untuk:
1. Mengenal pengertian hadist dha’if
2. Mengetahui klasifikasi hadist dha’if
3. Mengetahui macam-macam hadist dha’if
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadist Dhaif
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[1]
Hadis dha’if adalah bagian dari hadis mardud.
Dari segi bahasa dha’if berarti
lemah. Kelemahan hadis dha’if karena
sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadis kuat yan diterima sebagai
hujah. Dalam istilah adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab
satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Atau definisi lain yang biasa
diungkapkan mayoritas ulama adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis
shahih dan hasan.[2]
Dr.
Al-Huasaini Abdul Majid Hasyim (Rektor Universitas al-Azhar Kairo) memberikan
definisi hadist dhaif yaitu,
“Hadist
yang tidak menghimpun sifat hadist sahih dan hadist hasan. Atau hadist yang
tidak terpenuhi didalamnya sifat-sifat hadist yang dapat diterima”
(Abdul Majid Hasim: 57)
Sementara Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Ushul al-hadist: Ulumuhu wa Ushuluhu menulis: “Semuah hadist yang tidak terhimpun
didalamnya sifat-sifat hadist yang dapat diterima” (Ajaj al-Khatib: 327)
Dari kedua definisi ini memuat kandungan
makna yang sama, yaitu bahwa hadist dhaif ialah hadist yang tidak memenuhi
kriteria hadist sahih dan hadist hasan. Misalnya
sanadnya tidak bersambung, perawihnya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan dan
terjadinya cacat yang tersembunyi pada sanad dan matan.[3]
B.
Klasifikasi Hadist Dhaif
Para
ulama Muhadisin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan,
yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.[4]
Sebab-sebab tertolaknya hadist dari jurusan sanad adalah:
1. Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya,
baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
2. Ketidakbersambungannya sanad,
dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak
bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada
keadilan dan ke-dhabit-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
1.
Dusta
2.
Tertuduh
dusta
3.
Fasik
4.
Banyak
salah
5.
Lengah
dalam menghapal
6.
Menyalahi
riwayat orang keperjacayaan
7.
Banyak
waham (purbasangka)
8.
Tidak
diketahui identitasnya
9.
Penganut
bid’ah
10. Tidak baik hafalannya
C.
Macam-macam Hadist Dhaif
Sebab-sebab
terjadinya hadist dhaif dapat
diketahui dari dua segi.
1. Dari sanad
(terputusnya sanad) atau berdasarkan gugurnya rawi.
Dari segiterputusnya
sanad ini, hadist dha’if terbagi
menjadi:
a. Hadist Mursal
Hadist
mursal adalah,
“Hadist yang diriwayatkan oleh tabi’i secara
marfu’ kepada nabi (tanpa menyebut rawi dari sahabi) baik perkataan, perbuatan
maupun ketetapan, baik seorang tabi’i itu masih kecil maupun sesudah besar ”.
Berdasarkan
segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadist, hadist mursal terbagi pada mursal jali, mursal shahabi dan,
mursal khafi[5].
Berhujjah
dengan Hadist Mursal
·
Para
ulama dan fuqaha serta ahli ushul
menolak kehujjahan hadist dha’if.
·
Hadist
mursal dapat dijadikan hujjah secara
mutlak. Pendapat ini berasal dari Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal dan Abu
Hanafah. Alasannya, seorang rawi yang adil pastilah tidak mau menggugurkan
seorang rawi yang adil lainnya.
·
Hadist
mursal ditolak kehujjahannya dengan
pengecualian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Alasannya, rawi yang
digugurkannya itu tidak diketahui identitasnya, dan tidak dapat dipastikan
keadilannya.[6]
b. Hadist Al-Munqathi’
Hadist
munqathi’ adalah,
“Hadist yang dalam
isnadnya ada seorang rawi yang gugur dalam satu tempat atau dibeberapa tempat
yang tidak melebihi satu orang pada setiap tempat”.
Untuk
mengetahui hadist Munqati’ melalui
tiga cara:
·
Dengan
membandingkan seluruh sanad-sanad
yang ada , lalu dilihat rawi yang gugur itu.
·
Membahas
tanggal kelahiran para rawi (sanad)
yang dugunakan dan melihat tanggal/tahun kewafatan mereka, untuk diketahui
apakah ia pernah hidup sezaman dan dapat bertemu (liqa’) dengan para sanad tersebut.
·
Ketentuan
seorang imam hadist setelah mendengar rawi-rawi yang diperdengarkan kepadanya
tanpa ada bantahan darinya, jika terdapat pertentangan antara ketersambungan (ittishal) dengan keterputusan (inqitha’) maka digunakanlah cara tarjih.
Berhujjah dengan Hadist
Munqathi’
Hukum
hadist munqathi’ adalah mardud (ditolak)
karena tidak dikenali rawi yang gugur. Oleh karena itu tidak boleh dijadikan
hujjah. Tetapi bila ada hadist munqathi’ yang
lain dan terbukti bahwa rawi yang gugur itu adalah rawi yang tsiqoh, maka hadist itu adalah shahih, dan dapat diterima (maqbul).[7]
c. Hadist Al-Mu’dhal
Hadist
al-Mu’dhal adalah,
“Adalah hadist yang
gugur dari pengisnadannya dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut, di
tengah sanadnya bukan di awalnya”.
Contoh
hadist Mu’dhal:
عن
ا بي هر ير ۃ رڞۑ ا للہ عنہ ڤا ل : للمملٯ ك طعا مہ ٯ کسٯ تہ (ر ٯ ا ہ ما لك)
“Dari Abi Hurairoh ra, berkata: Si budak mempunyai hak makan dan
pakaian” (H.R. Malik).
Hadist
di atas diriwayatkan oleh Imam Malik, padahal Imam Malik adalah tabi’ tabi’in yang tidak mungkin bertemu
dengan Nabi SAW. dan pasti telah terjadi gugur dua orang sanad (rawi) atau
lebih.
d. Hadist Al-Mudallas
Hadist
al-Mudallas adalah,
“hadist yang
diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, hadist itu tiada bernoda”. Rawi
yang berbuat demikian disebut mudallis.
Hadist yang diriwayatkan oleh mudallis disebut hadist mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.[8]
Macam-macam
Tadlis
·
Tadlis Isnad, yaitu bila seorang rawi
meriwayatkan suatu hadist dari orang yang pernah bertemu dengannya, tetapi rawi
tidak pernah mendengar hadist dari padanya.
·
Tadlis Syuyukh,
yaitu rawi tidak menggugurkan seorang rawi, tetapi menggunakan nama gelar yang
tidak dikenali oleh orang lain (orang banyak).
·
Tadlis taswiyah
(tajwid)
Hukum Meriwayatkan
Hadist Mudallas
Hadist mudallas pada isnad dan syuyukh, kebanyakan para Ulama’
mengatakan hukumnya makruh.
e. Hadist Al-Mua’allal
Hadist
al-Mua’allal adalah,
“hadist yang terungkap
didalamnya cacat yang buruk meskipun diluarnya tanpa baik”.
Al-‘illat
(cacat)tersebut ada pada sanad dan ada pada matan
saja atau ada pada sanad dan matan
sekaligus.
2. Hadist dha’if berdasarkan cacat pada
keadilan dan ke-dhabit-an rawi.
Dari
segi ini hadist dhaif terbagi menjadi
:
a. Hadist Maudhu’
Hadist
maudhu’ adalah,
“Hadist yang dicipta
serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan ini dinisbatkan kepada
Rasulullah SAW. secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak”.
Ciri-ciri
hadist maudhu’:
Para
ulama menentukan bahwa ciri-ciri ke-maudhu’-an
suatu hadist terdapat pada sanad dan matan
hadist.[9]
b. Hadist Al-Mudha’af
Hadist
al-Mudha’af adalah,
“Hadist yang belum
disepakati kedha’ifannya, namun telah dianggap lemah oleh sebagian ahli hadist
pada sanad atau matan. Dan ia telah dikuatkan oleh yang lain, meski
kelemahannya lebih kuat”.
c. Hadist Al-Muththarib
Hadist
al-Muththarib adalah,
“Hadist yang
diriwayatkan oleh berbagai jalan yang saling bertentangan yang disertai tidak
dimungkinkan untuk dilakukan “al-tarjih” salah satu dari riwayat-riwayat itu,
baik rawi dari jalan-jalan ini satu orang ataupun lebih”.
Kelemahan hadist Muththarib ini adanya periwayatan yang
saling berlawanan satu sama lainnya, yang tidak mungkin untuk dapat dilakukan
petarjihan salah satunya.
d. Hadist Al-Maqlub
Hadist
al-Maqlub adalah,
“Hadist yang sebagian
matannya terbalik (tertukar) menurut rawi yang lain, atau nama rawi pada
sanadnya”.
Pada hadist maqlub yang terbalik (tertukar) dapat terjadi pada sanad dengan tertukarnya nama si rawi
atau pada matan. Jadi hadist maqlub adalah hadist yang kurang dhabit
dalam hapalan rawi.
e. Hadist Al Syadz
Hadist
alsyadz adalah,
“Hadist yang
diriwayatkan secara maqbul (dapat diterima) yang bertentangan dengan hadist
yang diriwayatkan oleh yang lebih tinggi tingkatannya darinya”.
Orang yang pertama kali menggunakan
kata “janggal” adalah Imam Syafi’i. Adapun syarat hadist syadz adalah:
·
Adanya
periwayatan yang tersendiri, yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya.
·
Adanya
pertentangan dengan yang lebih tsiqoh.[10]
f. Hadist Al-Munkar
Hadist
al-Munkar adalah,
“Hadist yang
diriwayatkan oleh rawi yang dhaif bertentangan dengan tsiqoh”.
Syarat
hadist munkar:
·
Riwayat
yang tersendiri yang berasal dari rawi yang dhaif.
·
Berlawanan
dengan rawi yang tsiqoh.
g. Hadist Al-Matruk dan Al-Matruh
·
Hadist
Al-Matruk
Hadist al-Matruk adalah,
“Hadist
yang diriwayatkan oleh seseorang yang disangka pendusta dalam pembicaraannya,
atau orang yang tampak kefasikannya dalam perbuatan dan perkataan , atau orang
yang kesalahannya besar dan banyak alpanya”.
·
Hadist
Al-Matruh
Sebenarnya Al Matruh, sama dengan Al Matruk. Tetapi al Zahabi membuatnya sebagai bagian yang berdiri sendiri, terambil
dari kata
........ (hadist
yang dibuang).[11]
3. Hukum periwayatn hadis dha’if.
Hadis
dha’if tidak identik dengan hadis mawdhu’ (hadis palsu). Diantar hadis terdapat
kecacatan paraperawihnya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang
kurang kuat tapi adil dan jujur. Sedangkan hadis mawdhu’ perawihnya pendusta.
Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa
menjelaskan kedha’ifannya engan dua syarat, yaitu:
a. Tidak berkaitan dengan aqidah seperti
sifat-sifat Allah.
b. Tidak menjelaskan hukum syara’ yag
berkaitan dengan halal haram, tetapi berkaitan dengan hadis-hadis tentang
ancaman dan janji , kisah-kisah, dan lain-lain.
Pengamalan hadis dha’if
Para
ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan hadis dha’if. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi tiga pendapat:
1. Hadis yang tidak dapat diamalakan secara
mutlak baik dalam keutamaan amal atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan
oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapatpertama ini adalah
pendapat AbuBakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhori, Muslim, dan Ibnu Hazam.
2. Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah amal atau dalam masalah
hukum, pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka erpendapat bahwa hadis dha’if lebih kuat dari pada pendapat
para ulama.
3. Hadis dha’if dapat diamalkan dalam padhilah amal, janji-janji yang
menyenagkan, dan ancaman yang menakutkan jika memenuhi beberapa persyaratan
sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu:
a.
Tidak
terlalu dha’if, seperti antara
perawihnya pendusta atau dituduh dusta, orang yang daya ingat hapalannya sangat
kurang , da berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau
perbuatan.
b.
Masuk
kedalam katagori hadis yang diamalkan seperti
hadis muhkam (hadis maqbul
yang tidak terjadi perrtentangan dengan hadis yang lain), nasikh (hadis yang
membatalkan hukum pada hadis sebelumnya), dan rajah (hadis yang lebih unggul dari oposisinya).
c.
Tidak
diyakinkan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapikarena berhati-hati
semata.
BAB III
KESIMPULAN
Jadi hadist dha’if
adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadist sahih dan hadist hasan. Atau hadist yang tidak terpenuhi didalamnya sifat-sifat
hadist yang dapat diterima. Didalam
kitab Ulumuhu
wa Ushuluhu hadis
dha’if adalah Semuah
hadist yang tidak terhimpun didalamnya sifat-sifat hadist yang dapat diterima.
Adapun macam-macam hadist dha’if sebab pengguguran sanad
adalah Mursal, Munqathi’, Mu’dhal,
Mualllaq, Madallas. Sebab cacat perawih yaitu (1) cacat keadilan yaitu, Mawdhu, Matruk, Majhul,(2) cacat ke-dhabith_an yaitu, Munqu’, Mu,Allal, Mudrraj, Maqlub, Mudhtharib, Muharraf, Mushahhaf,
Syadz.
DAFTAR PUSTAKA
Majid Khon, Abdul. 2010, Lumul Hadis. Cet. Ke. IV. Jakarta:
Amzah.
Hasan, Sofyan. 2004. Ulumul Hadis. Cet. Ke. II. Palembang:
IAIN Raden Fatah Press.
Diah, Diran. 2005. Ulumul Hadis. Cet. Ke. III. Palembang:
IAIN Raden Fatah Press.
Suyadi, Agus.
2009. Ulumul Hadist. Bandung: Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar