URANG DIRI

BERJALAN DENGAN LANGKAH PENUH ARTI

Rabu, 11 Januari 2012

ULUL HADITS "HADITS DHA'IF"


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kata dha’if  menurut bahasa berarti yang lemah, lawan dari kata qawiy yang berarti yang kuat. Hadist dha’if secara bahasa berarti “Hadist yang lemah”.
Secara terminologi, yang di maksud dengan hadist dha’if ialah:


“Ialah hadist yang kehilangan satu  syarat atau lebih dari syarat-syarat hadist sahih atau hadist hasan” (Rahman: 140).
Mengenai jenis hadist dha’if  sangat banyak sekali, sesuai dengan keanekaragaman penyebabnya, dan masing-masing mempunyai tingkatan yang berbeda pula. Kedha’ifan suatu hadist bisa terjadi pada sanad atau pada matan. Kedha’ifan pada sanad bisa terjadi persambungan sanadnya (ittisal as-sanad), dan bisa pula kualitas ketsiqahannya. Sedangkan kedha’ifan pada matan bisa terjadi pada sandaran matan itu sendiri dan bisa pula pada kesyadzannya.

B.     Permasalahan
Permasalahan yang diambil penyusun dan termasuk batasan pembahasan yang akan dibahas adalah: pengertian, klasifikasi, dan macam-macam hadist dha’if .

C.    Tujuan
      Tujuan pembuatan makalah yang berjudul “Hadist Dha’if” ini, selain untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Hadist juga bertujuan untuk:
1.      Mengenal pengertian hadist dha’if
2.      Mengetahui klasifikasi hadist dha’if
3.      Mengetahui macam-macam hadist dha’if

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadist Dhaif
Dhaif  menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[1]
Hadis dha’if adalah bagian dari hadis mardud. Dari segi bahasa dha’if berarti lemah. Kelemahan hadis dha’if karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadis kuat yan diterima sebagai hujah. Dalam istilah adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Atau definisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis shahih dan hasan.[2]

Dr. Al-Huasaini Abdul Majid Hasyim (Rektor Universitas al-Azhar Kairo) memberikan definisi hadist dhaif yaitu,
“Hadist yang tidak menghimpun sifat hadist sahih dan hadist hasan. Atau hadist yang tidak terpenuhi didalamnya sifat-sifat hadist yang dapat diterima” (Abdul Majid Hasim: 57)
      Sementara Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Ushul al-hadist: Ulumuhu wa Ushuluhu menulis: “Semuah hadist yang tidak terhimpun didalamnya sifat-sifat hadist yang dapat diterima” (Ajaj al-Khatib: 327)
      Dari kedua definisi ini memuat kandungan makna yang sama, yaitu bahwa hadist dhaif ialah hadist yang tidak memenuhi kriteria hadist sahih dan hadist hasan. Misalnya sanadnya tidak bersambung, perawihnya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan dan terjadinya cacat yang tersembunyi pada sanad dan matan.[3]


B.     Klasifikasi Hadist Dhaif
Para ulama Muhadisin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.[4]
      Sebab-sebab tertolaknya hadist dari jurusan sanad adalah:
1.      Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
2.      Ketidakbersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
1.        Dusta
2.        Tertuduh dusta
3.        Fasik
4.        Banyak salah
5.        Lengah dalam menghapal
6.        Menyalahi riwayat orang keperjacayaan
7.        Banyak waham (purbasangka)
8.        Tidak diketahui identitasnya
9.        Penganut bid’ah
10.    Tidak baik hafalannya
C.    Macam-macam Hadist Dhaif
Sebab-sebab terjadinya hadist dhaif dapat diketahui dari dua segi.
1.      Dari sanad (terputusnya sanad) atau berdasarkan gugurnya rawi.
Dari segiterputusnya sanad ini, hadist dha’if terbagi menjadi:
a.       Hadist Mursal
Hadist mursal adalah,
Hadist yang diriwayatkan oleh tabi’i secara marfu’ kepada nabi (tanpa menyebut rawi dari sahabi) baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan, baik seorang tabi’i itu masih kecil maupun sesudah besar ”.
Berdasarkan segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadist, hadist mursal terbagi pada mursal jali, mursal shahabi dan, mursal khafi[5].
Berhujjah dengan Hadist Mursal
·                     Para ulama dan fuqaha serta ahli ushul menolak kehujjahan hadist dha’if.
·                     Hadist mursal dapat dijadikan hujjah secara mutlak. Pendapat ini berasal dari Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Hanafah. Alasannya, seorang rawi yang adil pastilah tidak mau menggugurkan seorang rawi yang adil lainnya.
·                     Hadist mursal ditolak kehujjahannya dengan pengecualian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Alasannya, rawi yang digugurkannya itu tidak diketahui identitasnya, dan tidak dapat dipastikan keadilannya.[6]
b.      Hadist Al-Munqathi’
Hadist munqathi’ adalah,
“Hadist yang dalam isnadnya ada seorang rawi yang gugur dalam satu tempat atau dibeberapa tempat yang tidak melebihi satu orang pada setiap tempat”.
Untuk mengetahui hadist Munqati’ melalui tiga cara:
·         Dengan membandingkan seluruh sanad-sanad yang ada , lalu dilihat rawi yang gugur itu.
·         Membahas tanggal kelahiran para rawi (sanad) yang dugunakan dan melihat tanggal/tahun kewafatan mereka, untuk diketahui apakah ia pernah hidup sezaman dan dapat bertemu (liqa’) dengan para sanad tersebut.
·         Ketentuan seorang imam hadist setelah mendengar rawi-rawi yang diperdengarkan kepadanya tanpa ada bantahan darinya, jika terdapat pertentangan antara ketersambungan (ittishal) dengan keterputusan (inqitha’) maka digunakanlah cara tarjih.
Berhujjah dengan Hadist Munqathi’
Hukum hadist munqathi’ adalah mardud (ditolak) karena tidak dikenali rawi yang gugur. Oleh karena itu tidak boleh dijadikan hujjah. Tetapi bila ada hadist munqathi’ yang lain dan terbukti bahwa rawi yang gugur itu adalah rawi yang tsiqoh, maka hadist itu adalah shahih, dan dapat diterima (maqbul).[7]

c.       Hadist Al-Mu’dhal
Hadist al-Mu’dhal adalah,
“Adalah hadist yang gugur dari pengisnadannya dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut, di tengah sanadnya bukan di awalnya”.
Contoh hadist Mu’dhal:
عن ا بي هر ير ۃ رڞۑ ا للہ عنہ ڤا ل : للمملٯ ك طعا مہ ٯ کسٯ تہ (ر ٯ ا ہ ما لك)
“Dari Abi Hurairoh ra, berkata: Si budak mempunyai hak makan dan pakaian” (H.R. Malik).
Hadist di atas diriwayatkan oleh Imam Malik, padahal Imam Malik adalah tabi’ tabi’in yang tidak mungkin bertemu dengan Nabi SAW. dan pasti telah terjadi gugur dua orang sanad (rawi) atau lebih.
d.      Hadist Al-Mudallas
Hadist al-Mudallas adalah,
“hadist yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, hadist itu tiada bernoda”. Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadist yang diriwayatkan oleh mudallis disebut hadist mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.[8]
Macam-macam Tadlis
·         Tadlis Isnad, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan suatu hadist dari orang yang pernah bertemu dengannya, tetapi rawi tidak pernah mendengar hadist dari padanya.
·         Tadlis Syuyukh, yaitu rawi tidak menggugurkan seorang rawi, tetapi menggunakan nama gelar yang tidak dikenali oleh orang lain (orang banyak).
·         Tadlis taswiyah (tajwid)
Hukum Meriwayatkan Hadist Mudallas
Hadist mudallas pada isnad dan syuyukh, kebanyakan para Ulama’ mengatakan hukumnya makruh.
e.       Hadist Al-Mua’allal
Hadist al-Mua’allal adalah,
“hadist yang terungkap didalamnya cacat yang buruk meskipun diluarnya tanpa baik”.
Al-‘illat (cacat)tersebut ada pada sanad dan ada pada matan saja atau ada pada sanad dan matan sekaligus.
2.      Hadist dha’if  berdasarkan cacat pada keadilan dan ke-dhabit-an rawi.
Dari segi ini hadist dhaif terbagi menjadi :
a.       Hadist Maudhu’
Hadist maudhu’ adalah,
“Hadist yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak”.
Ciri-ciri hadist maudhu’:
Para ulama menentukan bahwa ciri-ciri ke-maudhu’-an suatu hadist terdapat pada sanad dan matan hadist.[9]
b.      Hadist Al-Mudha’af
Hadist al-Mudha’af adalah,
“Hadist yang belum disepakati kedha’ifannya, namun telah dianggap lemah oleh sebagian ahli hadist pada sanad atau matan. Dan ia telah dikuatkan oleh yang lain, meski kelemahannya lebih kuat”.
c.       Hadist Al-Muththarib
Hadist al-Muththarib adalah,
“Hadist yang diriwayatkan oleh berbagai jalan yang saling bertentangan yang disertai tidak dimungkinkan untuk dilakukan “al-tarjih” salah satu dari riwayat-riwayat itu, baik rawi dari jalan-jalan ini satu orang ataupun lebih”.
            Kelemahan hadist Muththarib ini adanya periwayatan yang saling berlawanan satu sama lainnya, yang tidak mungkin untuk dapat dilakukan petarjihan salah satunya.
d.      Hadist Al-Maqlub
Hadist al-Maqlub adalah,
“Hadist yang sebagian matannya terbalik (tertukar) menurut rawi yang lain, atau nama rawi pada sanadnya”.
            Pada hadist maqlub yang terbalik (tertukar) dapat terjadi pada sanad dengan tertukarnya nama si rawi atau pada matan. Jadi hadist maqlub adalah hadist yang kurang dhabit dalam hapalan rawi.
e.       Hadist Al Syadz
Hadist alsyadz adalah,
“Hadist yang diriwayatkan secara maqbul (dapat diterima) yang bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh yang lebih tinggi tingkatannya darinya”.
            Orang yang pertama kali menggunakan kata “janggal” adalah Imam Syafi’i. Adapun syarat hadist syadz adalah:
·         Adanya periwayatan yang tersendiri, yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya.
·         Adanya pertentangan dengan yang lebih tsiqoh.[10]
f.       Hadist Al-Munkar
Hadist al-Munkar adalah,
“Hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang dhaif bertentangan dengan tsiqoh”.
Syarat hadist munkar:
·         Riwayat yang tersendiri yang berasal dari rawi yang dhaif.
·         Berlawanan dengan rawi yang tsiqoh.

g.      Hadist Al-Matruk dan Al-Matruh
·         Hadist Al-Matruk
Hadist al-Matruk adalah,
“Hadist yang diriwayatkan oleh seseorang yang disangka pendusta dalam pembicaraannya, atau orang yang tampak kefasikannya dalam perbuatan dan perkataan , atau orang yang kesalahannya besar dan banyak alpanya”.
·         Hadist Al-Matruh
Sebenarnya Al Matruh, sama dengan Al Matruk. Tetapi al Zahabi membuatnya sebagai bagian yang berdiri sendiri, terambil dari kata ........ (hadist yang dibuang).[11]


3.      Hukum periwayatn hadis dha’if.
Hadis dha’if tidak identik dengan hadis mawdhu’ (hadis palsu). Diantar hadis terdapat kecacatan paraperawihnya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tapi adil dan jujur. Sedangkan hadis mawdhu’ perawihnya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya engan dua syarat, yaitu:
a.       Tidak berkaitan dengan aqidah seperti sifat-sifat Allah.
b.      Tidak menjelaskan hukum syara’ yag berkaitan dengan halal haram, tetapi berkaitan dengan hadis-hadis tentang ancaman dan janji , kisah-kisah, dan lain-lain.
Pengamalan hadis dha’if
Para ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan hadis dha’if. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi tiga pendapat:
1.      Hadis yang tidak dapat diamalakan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapatpertama ini adalah pendapat AbuBakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhori, Muslim, dan Ibnu Hazam.
2.      Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak  baik dalam fadhilah amal atau dalam masalah hukum, pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka erpendapat bahwa hadis dha’if lebih kuat dari pada pendapat para ulama.
3.      Hadis dha’if dapat diamalkan dalam padhilah amal, janji-janji yang menyenagkan, dan ancaman yang menakutkan jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu:
a.       Tidak terlalu dha’if, seperti antara perawihnya pendusta atau dituduh dusta, orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang , da berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan.
b.      Masuk kedalam katagori hadis yang diamalkan seperti  hadis muhkam (hadis maqbul yang tidak terjadi perrtentangan dengan hadis yang lain), nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hadis sebelumnya), dan rajah (hadis yang lebih unggul dari oposisinya).
c.       Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadis dari Nabi, tetapikarena berhati-hati semata.








BAB III
KESIMPULAN
Jadi hadist dha’if adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadist sahih dan hadist hasan. Atau hadist yang tidak terpenuhi didalamnya sifat-sifat hadist yang dapat diterima. Didalam kitab Ulumuhu wa Ushuluhu hadis dha’if adalah Semuah hadist yang tidak terhimpun didalamnya sifat-sifat hadist yang dapat diterima.
Adapun macam-macam hadist dha’if sebab pengguguran sanad adalah Mursal, Munqathi’, Mu’dhal, Mualllaq, Madallas. Sebab cacat perawih yaitu (1) cacat keadilan yaitu, Mawdhu, Matruk, Majhul,(2) cacat ke-dhabith_an yaitu, Munqu’, Mu,Allal, Mudrraj, Maqlub, Mudhtharib, Muharraf, Mushahhaf, Syadz.




















DAFTAR PUSTAKA
Majid Khon, Abdul. 2010, Lumul Hadis. Cet. Ke. IV. Jakarta: Amzah.
Hasan, Sofyan. 2004. Ulumul Hadis. Cet. Ke. II. Palembang: IAIN Raden Fatah  Press.
Diah, Diran. 2005. Ulumul Hadis. Cet. Ke. III. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadist. Bandung: Pustaka Setia


[1] Agus Suyadi, Ulumul Hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 148
[2] Majid Khon Abdul, Lumul Hadis, cet. Ke. IV. (Jakarta: Amzah, 2010),hlm. 163-164
[3] Sofyan hasan dkk., Ulumul Hadist, cet. Ke. II(Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2004), hlm. 65-66
[4] Agus Suyadi, op. cit, hlm. 148

[5] Ibid., hlm. 153


[6] Diah Diran, Ulumul Hadis, cet. Ke. III (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005), hlm. 67
[7] Ibid., hlm. 68-69


[8] Agus Suyadi, op. cit, hlm. 154


[9] Ibid., hlm. 149
[10] Sofyan hasan dkk., op. cit, hlm. 76-77

[11] Ibid, hlm. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar