URANG DIRI

BERJALAN DENGAN LANGKAH PENUH ARTI

Selasa, 20 Desember 2011

JUAL BELI


OLEH: HARYADI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.Allah SWT menjadikan manusia, masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan.Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia suka mementingkan diri sendiri.
B.     Tujuan
Adapun tujuan mempelajari tentang jual beli adalah:
1.      Agar mahasiswa bisa mengetahui aturan-aturan jual beli.
2.      Agar mahasiswa bisa mengetahui jual beli yang sah dan tidak sah.
C.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah, yaitu
1.      Apakah definisi dari jual beli ?
2.      Apakah syarat sah dari jual beli ?
3.      Apa saja rukun dari jual beli ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
Menurut istilah, jual beli adalah pertukaran barang dengan barang atau barang denagan uang. Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-majemu’, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. Sementara itu, Ibnu Qudamah dalam kitab al-mughni menyatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk menjadikan milik.
Jual beli atau dalam bahasa Arab al-bai’ menurut etimologi adalah tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.[1]
Sayid Sabiq mengartikan jual beli menurut bahasa sebagai berikut adalah tukar menukar secara mutlak.[2]
Dalam pengertian istilah syara’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulam mazhab.
a.       Hanafiah, sebagaimana dikemukakkan oleh Al-Fikri, menyatakan bahwa jual beli memilki dua arti:
1.      Arti khusus
Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus.
2.      Arti umum
Jual beli adalah tukar-menukar harta dengan harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau uang.[3]
b.      Malikiyah, seperti halnya Hanafiyah, menyatakan bahwa jual beli mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus, pengertian jual beli yang umum adalah sebagai berikut. Jual beli adalah akad mu’awadahah (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.[4]


c.       Syafi,iyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.
Jual beli menurut syara’ adalah suatu akad yang mengandung tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.[5]
d.      Hanabilah memberiakn definisi jual beli sebagai berikut.
Pengertian jual beli menurut syara’ adlah tukar menukar harta dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, buakn riba juga bukan hutang.[6]
Dasar hukum diperbolehkannya seseorang melaksanakan jula beli adalah firman Allah swt. sunah, dan ijmak para sahabat.
a.       Firman Allah swt.
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…(al-Baqoroh: 275)
b.      Sunah Nabi Muhammad saw.
Pada suatu saat Nabi ditanya tentang pencaharian paling baik, beliau menjawab, “Seorang berkerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”.
Maksud mabrur dalam hadis diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
c.       Ijak Para Sahabat
Ulama’ telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Berdasarkan firman Allah swt., sunah, dan ijmak para sahabat diperoleh simpulan bahwa jual beli ituhukumnya mubah (boleh). Kebolehan ini merupakan hukum asal jual beli.[7]

B.     Rukun Jual Beli
            Rukun jual beli menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan sikap saling tukar menukar, atau saling member. Atau dengan redaksi yang lain, ijab qabul adlah perbuatan yang menunjukan kesediaan kedua pihak untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain, dengan menggunakan perkataan atau perbuatan.
         Para jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun jual beli meliputi empat hal, yaitu:
a.       Ba’i’ (penjual), yaitu pihak yang dikenai tuntunan untuk menjual;
b.Musytari (pembeli), yaitu pihak yang menghendaki memiliki sesuatu dengan pembelinya;
c. Sigat (ijab dan kabul), yaitu transaksi yangdilakukan oleh kedua belah pihak;
            Syarat ijab dan Kabul
1.Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu tempat dalam waktu yang tidak terpisah dengan sesuatu yang bias merusak semuanya.
2.Tercapainya keserasian anatara ijab dan Kabul yang mengharuskan adanya keredhoan atas harga dan barang yang diperjual belikan.
3.Ijab dan Kabul mengunakan kata kerja bentuk lampau.[8]
d.      Ma’qud ‘alaih (benda atau barang), yaitu sesuatu yang menjadi objek jual beli.[9]
            Agar jual beli terlaksana dan sah, penjual dan pembeli harus memiliki syarat, yaitu:
1.Berakal, agar seseorang tidak terkecoh;
2.Dilakukan atas kehendak sendiri, bukan dipaksa atau terpaksa;
3.Tidak mubazir (boros) sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya;
4.Baligh, anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti, tetapi belum baligh, mmenurut pendapat seorang ulama’ diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil.

C.    Syarat Jual Beli Syarat sah jual-beli
            Agar jual beli dinyatakan sah, maka harus terpenuhi syarat-syaratnya. Sebagian syarat tersebut ada yang berhubungan dengan pelaku akad, dan sebagian yang lain berhubungan dengan barang yang menjadi objek akad. Maksud barang yang menjadi objek akal adalah harta yang kepemilikkan hendak dipindahkan dari salah satu pihak yang berakad kepada pihak lain, baik berupa harga maupun barang.[10]
            Secara umum, disyaratkannya juala beli itu, antara lainuntuk menghindari pertentengan antara manusia, menjaga kemaslahatan orang berakad, dan menghindari jual beli yang garar (penipuan). Syarat jual beli meliputi empat hal, yaitu syarat terjadinya akad, syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad, dan syarat kepastian.

a.       Syarat Terjadinya Akad
      Syarat terjadinya akad adalah syarat harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’.[11]
Menurut ulama Hanabilah, apabila syarat terjadinya akad tidak dipenuhi, jual belinya batal.
b.      Syarat Sahnya Akad
      Syarat sahnya terbagi dua, yaitu:
1.Syarat Umum
Syarat umum adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetepkan oleh syarak dan terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemudoratan, dan persyaratan yang merusak lainya.
2.Syarat Khusus
Syarat khusus adalah syarat yang hanya ada pada barang-barang taertentu, seperti:
                                i.      Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang;
                              ii.      Harga awal harus diketahui;
                            iii.      Serah terima harus dilakukan sebelum berpisah, yaitu pada jual beli yang ada di tempat;
                            iv.      Terpenuhi syarat penerimaan;
                              v.      Harus seimbang ukuran dalam timbangan;
                            vi.      Barang yang diperjual belikan sudah menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu tidak boleh menjua barang yang masih berada ditangan penjualnya.
c.       Syarat Terlaksananya Akad
            Syarat terlaksananya akad sebagai berikut:
1.Benda dimiliki pleh ‘aqid (berkuasa untuk akad).
2.Pada benda tidak terdapat milik orang lain. Oleh sebab itu, tidak boleh menjual barang sewaan dan barang gadaian karena barang tersebut bukan miliknya sendiri, kecuali diizikan oleh pemilik sebenarny, yakni jual beli yang di tangguhkan.
      Berdasarkan syarat terlaksananya akad, jual beli terbagi menjadi dua,yaitu jual beli nafaz dan jual beli mauquf.
a. Jual beli nafaz
Jual beli nafaz adlah jual beli yang dilakukan seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun jual beli sehingga jual belitersebut dikategorikan sah.
b.Jual beli mauquf
Jual beli mauquf adalah jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi nafaz, yakni bukan milik dan kuasa melakukan akad, seperti jual beli fudul (jual beli milik orang lain tanpa adnya izin). Jika pemilik mengizikan maka jual beli fudul dipandang sah. Sebaliknya, jika pemilik tida mengizinkan, dipandang batal. Para ulama berbeda pendapat dalam jual beli fudul ini.
d.      Syarat Kepastian
   Syarat kepastian hanya ada satu, yaitu akad jual bei harus terlepas atau bebas dari khiar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang melakukan akad dan menyebabkan batalnya akad.
1.Akad dan tulisan
Jual beli dinyatakan sah apabila dilakukan dengan ijab kabul  (dengan bahasa lisan).juga dengan mengunakan tulisan,dengan syarat penjual dan pembeli berada dalam tempat berjauhan.karena ucapan sebagai bukti akad yang paling jelas,tidak dapat digantikan apapun kecuali jika terdapat alas an kuat yang bias memalingkan ucapan ke bentuk yang lain. Dalam akad dengan tulisan , disyaratkan agar pihak yang menerima tulisan memberikan persetujuan di tempat, dimana tulisan tersebut dibacakannya.[12]
2.Akad dengan perantara orang lain
Selain sah dilakukan secara lisan dan tulisan, akad jual beli juga dinyatakan sah melalui perantara utusan dari salah satu pihak yang bertransaksi, dengan syarat pihak yang menerima langsung setelah berita disamapikan oleh si perantara. Dengan demikian, kapan saja terjadi persetujuan dalam dua bentuk transaksi diatas, maka transaksi jual-beli sudah sempurna, dan tidak perlu di tunggu hingga pihak yang mengurus tahu jawaban dari pihak yang lain.[13]
3.Akad bagi orang bisu
Akad jual-beli bagi orang bisu dinyatakan sah dengan isyarat yang bisa adimengerti karena isyarat orang yang bisu untuk mengungkapkan sesuatu setara dengan ucapan lisan. Orang bisu juga boleh melakukan akad dengan tulisan sebagai ganti dari isyarat, jika ia mampu menulis. Adapun sebagian ulama yang mensyaratkan kata-kata tertentu dalam membuat akad, mereka tidak mendapatkan dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun sunah.[14]

D.    Jual Beli yang Dilarang
            Jual beli yang dilarang dalam Islam sangat banyak. Berikut ini dijelaskan sebab-sebab terlarangnya jual beli menurut Wahbah al-Zuhaili.
a.       Terlarang Sebab Ahliah
            Orang yang dilarang melakukan transaksi jual beli karena sebab ahliah adalah:
1.Orang gila,
2.Anak kecil,
3.Orang buta,
4.Fudul,
5.Orang yang terlarang (halangan itu dapat berupa kebodohan, kbangkrutan, dan penyakit),
6.Orang yang sedang dalam bahaya, yakni menghindar dari perbuatan dzalim (jual  beli malja’).
b.      Terlarang Sebab Sigat
Ulama fiqih telah sepakat bahwa jual beli yang didasarkan pada keridoan antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian antara ijab dan Kabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah adalah sah.
Sebaliknya, jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah atau  masih diperselisihkan para ulama, seperti macam-macam jual beli berikut.
1.Jual beli mu’tah adlah jual beli yang sudah disepakati oleh pihak yang melakukan akd berkenaan dengan barang dn harganya, tetapi tidak memakai ijab Kabul.
2.Jual beli melalui utusan atua surat. Jual beli semacam ini sah selama surat atau utusan itu sampai pada tujuan. Apabila terjadi sebaliknya, jual beli tidak sah.
3.Jual beli dengan melalui isyarat atau lisan selama bisa dibaca dan dimengerti. Jika terjadi sebalaiknya, jual beli semacam ini dinyatakan tidak sah, misalnya tulisannya tidak terbaca atau isyaratnya tidak dimengerti.
4.Jual beli barang yang tidak ada di tempat
5.Jual beli yang tidak sesuai dengan ijab Kabul.
6.Jual beli munjiz (jua beli yang ditangguhkan).
c.       Terhalang Sebab Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad)
Ma’qud ‘alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang berakad, bias disebut dengan istilah mabi’ (barang jualan), seperti:
1.Jual beli barang yang dikhawatirkan tidak ada barangnya.
2.Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan barangnya.
3.Jual beli garar (tipuan) adlah jual belli yang mengandung kesamaran.
4.Jual beli barang yang najis dan terkena najis.
5.Jual beli air (mazhab Zahiriah da yang lain tidak mengharamkannya).
6.Jual beli barang yang tidak jelas (majhul).
7.Jual beli barang yang tida ada di tempatnya (gaib).
8.Jual beli sesuatu yang belum depegang.
9.Jual beli buah-buahan atau tumbuhan yang belum jelas buahnya.
d.      Terlarang Sebab Syarak
Jual beli barang yang terlarang sebab syarak meliputi:
1.Jual beli riba’.
2.Jual beli uang dengan binatang yang diharamkan.
3.Jual beli barang yang diperoleh dengan cara merampas atau memalak dijalan.
4.Jual beli sperma hewan jantan dengan cara mencampurkan hewan tersebut dengan hewan betina.
5.Jual beli anggur untuk dipakai khamar.
6.Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain.
7.Jual beli bersyarat.

E.     Sebab Tidak  Sah Jual Beli
a.       Ketidak jelasan (jahalah)
Yang dimaksud disini adalah ketidak jelasan yang serius yang memdatangkan perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidak jelasan ini memiliki empat macam, yaitu:
1.Ketidak jelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya, atau kadarnya menurutpandangan pembeli.
2.Ketidak jelasan harga
3.Ketidak jelasan masa (tempo), seperti dalam harga yang diangsur, atau dalam khiyar syarat.
4.Ketidak jelasaan dalam langkah-langkah penjaminan. Misalnya penjual mensyaratkan di ajukannya seorang kafil (penjamin). Dalam hal ii penjamin terebut harus jelas.[15]
b.      Pemaksaan (al-Ikhrah)
Pengertian pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipaksa) untuk melakukan sesuatu pperbuatan yang tidak disukainya. Pemaksaan ini ada dua macam:
1.Pemaksaan absolute, yyaitu pemaksaan dengan ancaman sangat berat, seperti akn dibunuh.
2.Paksaaan relative, yaitu paksaan yang ancaman yang lebih ringan, seperti dipukul.
c.       Pembatasan dengan Waktu (at-Tauqit)
Yaitu jual beli yang dibatasi waktun. Seprti: “saya jual baju ini kepadamu untuk selama satu bulan saja”.
d.      Penipuan (al-Gharar)
Yang dimaksud penipuan disini adalah penipuan sifat barang.
e.       Kemudaratan (adh- Dharar)
Kemudoratan ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual  tidak mungkin dilakukan kecuali dengan memasukan kemudoraatan kepada penjual, dalam barang selain objek akad.
f.       Syarat yang Merusak
Yaitu setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak adalam syar’ dan adat kebiasaan, atautidak di kehendaki oleh akad, atau tidak selaras dengan tujuan akad.[16]
F.     Pengertian Al-Qadabh (serah terima barang)
            Qabdhu (serah terima) atas barang yang tidak bergerak adalah dengan cara penjual menggugurkan hak kepemiliknya dan membiarkan pembeli sebagai pemilik yang baru untuk memanfaatkannya, seperi untuk bercocok tanam, menempati rumah, berteduh di bawah pohon atau mengambil buahnya dan sebagainya.
            Adapun serah terima barang yang bergerak, seperti makanan pakaian, binatang, dan lainnya adalah dengan cara berikut;
a.       jika dapat diukur dengan takaran atau timbangan ,maka barang tersebut mesti diukur secara sempurna dengannya.
b.      jika itu termasuk barang yang dijual dengan taksiran (bukan ditakar atai ditimbang), yaitu cukup dengan cara memindahkannya ke tempat yang lain.
Selain kedua kategori diatas, maka bentuk serah terima disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.[17]

G.    Hikmah Larangan Jual Beli Barang sebelum Menerimanya dari Orang Lain.
            Hikmahnya adalah jika seorang menjual barang, maka barang tersebut masih berada salam tanggungan sebelum diterima oleh pembeli. Apabila terdapat kerusakan, maka sepenuhnya menjadi tanggungan dan kerugian penjual, bukan pembeli. Maka, apabilampembeli menjual barang yangt masih dalam tanggungan penjual kemudian ia mendapatkan keuntungan maka keuntungan tersebut berasal dari penjualan barang yang belum menjadi tanggungannya. Terkait dengan ini, Ash-habus Sunan[18] meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Melarang menjual  barang yang tidak menjadi tanggungan si penjual. Dan karena pembeli yang menjual kembali barang yang dibelinya sebelum menerimanya ia menyerupai orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk mendapatkan harta serupa yang lebih banyak. Hanya saja dalam konteks ini, ia menyisipkan jual beli barang dalam mewujudkan maksudnya. Bentuk transaksi tersebut menyerupai transaksi riba’.[19]

H.    Anjuran dan Larangan Dalam Jual Beli
a.       Mengambil persaksian atas akad jual beli
Allah memerintahkan untuk mengambil saksi dalam akad jual beli, sebagaimana yang di jelaskan dalam firman-Nya, “Dan bersaksikanlah jika kamu melakukan jual beli,dan janganlah penulis dan saksi saling merugikan satu sama lain.” (Al-Baqoroh.282).
Perintah dalam ayat tersebut menunjukkan hukum sunnah dan arahan melakukan sesuatu yang mengandung kebaikkan, bukan perintah yang berarti wajib sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama.
Al Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur’an menuliskan bahwa mayoritas alhi fiqih bersepakat bahwa perintah untuk menuliskan akad, pengambilan sakasi dalam jualbeli dan pemberian rahn (gadai sebagai jaminanan) yang di sebutkan dalam surat al Baqarah ayat 282-283 hukumnya adalah sunnah.[20]
b.      Penambahan harga sebagai kompensasi atas penambahan masa pembayaran
Jual beli boleh dilakukan dengan pembayaran harga secara tunai. Juga dibolehkan dengan pembayaran harga yang ditangguhkan dalam tempo tertentu. Sebagaimana juga dibolehkan sebagian harga dibayarkan secara tunai dan sisanya ditangguhkan, selama hal itu dilakukan dengan unsur saling ridho dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Pendapat ini disampaikan oleh para pengikut mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, Muayyad Billah dan mayoritas ahli fiqih, bedasarkan keumuman dalil yang membolehkan jual beli.[21]
c.       Jual beli orang yang dipaksa
Mayoritas ahli fiqih memberlakukan syarat bahwa akda jual beli yang dilakukan seseorang harus atas kehendak sendiri. Jika ia dipaksa untuk menjual barang miliknya, maka jual beli tersebut tidak sah. Hal ini disebutkan dalam surat An-Nisa’: 29 yang artinya “sesungguhnya, jual beli hanyalah berdasarkan rasa saling ridho.”
Abdurrahman bin Ka’b berkata, “dahulu, Muadz bin Jabal adalah seorang pemuda yang sangat dermawan. Ia tidak memiliki harta apapun, tetapi masih saja tangannya terbuka lebar hingga utangnya banyak bertumpuk. Kemudian menghadap Rasulullah saw agar beliau bersedia berbicara kepada orang-orang yang memberinya utang. Jika para pemilik piutang agar menggugurkan utang seseorang, tentulah mereka akan melakukan Mu’adz, karena kedudukan Rasulullah namun rasulullah tidak menyetujui permohonan Mu’adz. Beliau justru menjual semua harat Mu’adz untuk membayar semua utangnya hingga dia hidup tidak memiliki harta apapun.
d.      Jual beli karena kondisi darurat
Terkadang, kondisi memaksa seseorang untuk menjual harta miliknya untuk membayar utang atau memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kondisi tersebut menuntutnya utnuk menjual hartanya dengan harga sangat murah. Jual beli seperti sah dibenarkan, hanya saja hukumnya makruh. Setelah terjadi, akad tidak boleh dibatalkan. Dalam kasus seperti ini, syariat islam mengajurkan untuk memberikan bantuan atau pinjaman pada orang yang sedang mendapat kesulitan hingga ia terbebas dari kesusahan yang melilitnya.

e.       Jual beli dengan pura-pura
Jika seseorang khawatir terhadap kedzaliman seseorang atas hartanya, lalu ia pura-pura menjualnya untuk menghindari kedzaliman dengan melakukan transaksi akad jual beli yang terpenuhi syarat maupun rukunya, maka transaksi tersebut tidak sah. Sebab, kedua pihak yang melakukan akad tidak bermaksud untuk melakukan jual beli. Keduanya hanya berpura-pura. Ada yang berpendapat bahwa akad tersebut sah, karena telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa jual beli yang dilakukan dengan pura-pura tidak dibenarkan atau tidak sah.
Abu Hanifah dan Syafi’I berpendapat bahwa jual beli tersebut sah, karena rukun dan syaratnya telah terpenuhi dengan lengkap dan tidak terdapat hal yang merusaknya.
f.       Jual Beli dengan Mengecualikan Barang yang Diketahui.
Seseorng boleh menjual sejumlah barang dengan mengecualikan sebagian tertentu yang diketahui. Contohnya seperti melakukan jualm beli pepohonan dengan mengecualikan sebatang diantaranya, atau seperti menjual beberapa rumah dengan pengecualikan satu rumah tertentu, atau menjual sebidang tanah dengan pengecualian sebagiannya yang ditentukan yang diketahui oleh pembeli. Dalam sebuah riwayat dari Jabir, Rosulullah saw. melarang muhaqalah, muzabanah[22]  dan akad jual beli dengan pengecualian, kecuali apabila ditentukan dan diketahui. Jika barang yang dikecualikan tidak diketahui dengan jelas, maka akad jual beli tidak sah karena mengandung unsur ketidaktahuan dan penipuan.
g.      Menyempurnakan timbangan dan takaran
Allah memerintahkan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan dalm jual beli melalui mfirman dalam surat al-An’am 152 dan al –isra’ ayat 35. Disamping itu Allah juga melarang mempermainkan atau beerlaku curang dalam takaran dan timbangan dalam firmannya “ celaka benar, bagi orang-orang yang kurang ( yaitu) oran-orang yang dekat yang apabila meneriama takaran dari orang lain, mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, merek mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitakan, pada suatu hari yang besar yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap tuhan semesta alam.” (Al-Muthafifin: 1-6)

h.      Larangan membeli barang rampasan dan curian
Diharamkan atas setiap muslim membeli barang yang diyakininya sebagai hasil rampasan atau diambil dari pemiliknya dengan cara yang tidak benar. Karena pengambilan barang dengan cara haram tidak bias memindahkan kepemilikan barang tersebut kepada orang lain, sehingga membelinya dianggap membeli barang yang tidak dimiliki oleh si penjual.
i.        Jual beli ketika adzan jum’at
Jual beli yang dilakukan pada waktu shalat sudah habis dan ketika adzan jum’at berkumandang, hukumnya haram menurut pendapat Imam Ahmad.[23] Berdasarkan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik dari jika kamu mengetahui.” (Al-Jum’ah: 9)
Larangan dalam ayat tersebut mengandung makna bahwa yang dilarangan yaitu jual beli ketika adzan Jum’at adalah perbuatan baril. Kemudian adzan shalat-shalat yang lain bias diqiyaskan padanya.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa mekanisme jual beli sudah ada rambu-rambu yang mengaturnya, baik ditilik dari segi syara’ maupun ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang mana ketika kita telah mengetahui rambu-rambunya maka sudah sepatutnya untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazzairi, Jabir dan Abu Bakar. 2009. Ensiklopedi Muslim. Bekasi: PT. Darul Falah.
Fikri, Ali. 1357. Al-Muamalat Al Maddiyah wa Al-Adabiyah. Mesir: Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy.
Habib, Imam A.H. 2001. Nasehat Agama dan Wasiat Iman. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.
Muchlis, Ahmad Wardi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah.
Muhammad Ar-Ramli, Syamsudin. 2004. Nihayah Al-Muhtaj. Beirut: Dar Al-Fikr.
Rifa’i, M. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.
Rizal, Qosim. 2008. Penhgamalan Fiqih. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sabiq, Sayid. 1981, Fiqih As-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr. cet. III.
Sabid, Sayid. 2008. Fiqih Sunnah. Jakarta: Al-I’tishom Anggota IKAPI.
Sabiq, Sayid . 2010, Fiqih Sunnah. Jakarta Timur: Al-I’tishom.
Sulaiman, Rasyid. 2009. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset Bandung.
Zuhaili, Wahab. 1998. Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh. Damaskus: Dar Al-fikr.
.



[1] Wahab Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, (Damaskus: Dar Al-fikr, 1998),  hlm. 344  Pengertian yang sama dikemukakan oleh Ali Fikri, Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli’ dan ulama-ulam yang lain. Lihat Ali fikri, Al-Muamalat Al Maddiyah wa Al-Adabiyah, Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir, 1357, hlm. 8; Lihat juga: Syamsudin Muhammad Ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 372
[2] Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3,  cet. III, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981),  hlm. 126
[3]Ali Fikri, op.cit., hlm. 9
[4] Ibid., hlm. 10
[5] Ibid., hlm. 11
[6] Syamsuddin Muhammad Ar- Ramli, op. cit., juz 3, hlm. 372
[7] . Qosm M. rizal, Penamalan Fiqih, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 101
[8] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, ,(Jakarta Timur:  Al-I’tishom, 2010), hlm. 265
[9] Wahab Zuhaili, op. cit., juz 4, hlm. 347
[10] Ahmad Wardi Muchlis, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010),  hlm. 191-192
[11]  Ibid., hlm. 187
[12] Ibid., hlm. 190
[13] Ibid., hlm. 266
[14] Ibid., hlm. 266
[15]  Ibid., hlm. 379-380
[16] Ahmad Wardi Muchlis, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010),  hlm. 191-192
[17] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, (Jakarta Timur: Al-I’tishom, 2010),  hlm. 280
[18] Ash-habus Sunan adalah Tirmidzi, Nasa’I,abu daud, dan ibnu majah.
[19] Ibid., hlm. 281
[20]  Ibid., hlm. 282
[21] Ibid., hlm 285
[22] Muhaqalah artinya menyerahkan tanah kepada petani untuk dikelolah dengan imbalan sebagian dari tanah tesebut. Sedangakan muzabanah adalah menukar buah yang masih dipohon dengan buah yang sudah dipetik dengan kadar tertentu.
[23] Imam yang lain membolehkannya, tetapi hukumnya makruh.

1 komentar:

  1. Mau dapatkan kartu hokky dan mendapatkan banyak bonus tunggu apalagi gabung aja bersama donacopoker
    dengan deposit 10.000 kamu sudah bisa bermain.
    di link alternatif kami www.donacopkr.com
    Agen poker online
    Agen poker online
    Judi Kartu Online
    bandar qq donacopoker
    agen judi kartu online yang memberikan kenyamanan dan permainan yang lengkap
    BBM : DC31E2B0
    LINE : Donaco.poker
    WHATSAPP : +6281333555662

    BalasHapus