OLEH:
HARYADI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi.
Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu
praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual
beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan.
Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika
mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor
syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia,
hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan
komprehensif.
Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita
mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi
mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika
ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak
diperlukan.Allah SWT
menjadikan manusia, masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya
mereka tolong menolong, tukar-menukar keperluan
dalam segala urusan.Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur
dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi
sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia suka mementingkan diri sendiri.
B.
Tujuan
Adapun
tujuan mempelajari tentang jual beli adalah:
1.
Agar mahasiswa bisa mengetahui
aturan-aturan jual beli.
2.
Agar mahasiswa bisa mengetahui jual beli yang sah dan tidak sah.
C.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah, yaitu
1.
Apakah definisi dari jual beli ?
2.
Apakah syarat sah dari jual beli ?
3.
Apa saja rukun dari jual beli ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual
Beli
Menurut istilah,
jual beli adalah pertukaran barang dengan barang atau barang denagan uang.
Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-majemu’,
jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. Sementara
itu, Ibnu Qudamah dalam kitab al-mughni menyatakan
bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk menjadikan milik.
Jual beli atau
dalam bahasa Arab al-bai’ menurut
etimologi adalah tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.[1]
Sayid Sabiq
mengartikan jual beli menurut bahasa sebagai berikut adalah tukar menukar
secara mutlak.[2]
Dalam pengertian
istilah syara’ terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulam mazhab.
a.
Hanafiah, sebagaimana dikemukakkan oleh
Al-Fikri, menyatakan bahwa jual beli memilki dua arti:
1. Arti
khusus
Jual beli adalah
menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar
menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus.
2. Arti
umum
Jual beli adalah
tukar-menukar harta dengan harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat
(barang) atau uang.[3]
b.
Malikiyah, seperti halnya Hanafiyah,
menyatakan bahwa jual beli mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus,
pengertian jual beli yang umum adalah sebagai berikut. Jual beli adalah akad mu’awadahah (timbal balik) atas selain
manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.[4]
c.
Syafi,iyah memberikan definisi jual beli
sebagai berikut.
Jual beli menurut syara’ adalah suatu akad yang mengandung
tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk
memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.[5]
d.
Hanabilah memberiakn definisi jual beli
sebagai berikut.
Pengertian jual beli menurut
syara’ adlah tukar menukar harta
dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah
untuk waktu selamanya, buakn riba juga bukan hutang.[6]
Dasar hukum
diperbolehkannya seseorang melaksanakan jula beli adalah firman Allah swt.
sunah, dan ijmak para sahabat.
a.
Firman Allah swt.
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…(al-Baqoroh:
275)
b.
Sunah Nabi Muhammad saw.
Pada suatu saat Nabi
ditanya tentang pencaharian paling baik, beliau menjawab, “Seorang berkerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”.
Maksud
mabrur dalam hadis diatas adalah jual
beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
c.
Ijak Para Sahabat
Ulama’
telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia
tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti
dengan barang lainnya yang sesuai.
Berdasarkan
firman Allah swt., sunah, dan ijmak para sahabat diperoleh simpulan bahwa jual
beli ituhukumnya mubah (boleh).
Kebolehan ini merupakan hukum asal jual beli.[7]
B.
Rukun
Jual Beli
Rukun
jual beli menurut Hanafiah adalah ijab
dan qabul yang menunjukkan sikap
saling tukar menukar, atau saling member. Atau dengan redaksi yang lain, ijab qabul adlah perbuatan yang
menunjukan kesediaan kedua pihak untuk menyerahkan milik masing-masing kepada
pihak lain, dengan menggunakan perkataan atau perbuatan.
Para
jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun jual beli meliputi empat hal, yaitu:
a. Ba’i’
(penjual), yaitu pihak yang dikenai tuntunan untuk menjual;
b.Musytari
(pembeli),
yaitu pihak yang menghendaki memiliki sesuatu dengan pembelinya;
c. Sigat (ijab
dan kabul),
yaitu transaksi yangdilakukan oleh kedua belah pihak;
Syarat ijab dan Kabul
1.Ijab
dan Kabul
dilakukan dalam satu tempat dalam waktu yang tidak terpisah dengan sesuatu yang
bias merusak semuanya.
2.Tercapainya
keserasian anatara ijab dan Kabul
yang mengharuskan adanya keredhoan atas harga dan barang yang diperjual
belikan.
3.Ijab
dan Kabul
mengunakan kata kerja bentuk lampau.[8]
Agar
jual beli terlaksana dan sah, penjual dan pembeli harus memiliki syarat, yaitu:
1.Berakal,
agar seseorang tidak terkecoh;
2.Dilakukan
atas kehendak sendiri, bukan dipaksa atau terpaksa;
3.Tidak
mubazir (boros) sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya;
4.Baligh,
anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti, tetapi
belum baligh, mmenurut pendapat seorang ulama’ diperbolehkan berjual beli
barang yang kecil-kecil.
C. Syarat Jual Beli Syarat sah
jual-beli
Agar jual beli dinyatakan sah, maka
harus terpenuhi syarat-syaratnya. Sebagian syarat tersebut ada yang berhubungan
dengan pelaku akad, dan sebagian yang lain berhubungan dengan barang yang
menjadi objek akad. Maksud barang yang menjadi objek akal adalah harta yang
kepemilikkan hendak dipindahkan dari salah satu pihak yang berakad kepada pihak
lain, baik berupa harga maupun barang.[10]
Secara umum, disyaratkannya juala
beli itu, antara lainuntuk menghindari pertentengan antara manusia, menjaga
kemaslahatan orang berakad, dan menghindari jual beli yang garar (penipuan). Syarat jual beli meliputi empat hal, yaitu syarat
terjadinya akad, syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad, dan syarat
kepastian.
a.
Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah syarat harus
terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’.[11]
Menurut
ulama Hanabilah, apabila syarat terjadinya akad tidak dipenuhi, jual belinya batal.
b.
Syarat Sahnya Akad
Syarat sahnya terbagi dua, yaitu:
1.Syarat
Umum
Syarat
umum adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang
telah ditetepkan oleh syarak dan terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu
ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu, penipuan, kemudoratan,
dan persyaratan yang merusak lainya.
2.Syarat
Khusus
Syarat
khusus adalah syarat yang hanya ada pada barang-barang taertentu, seperti:
i.
Barang yang diperjual belikan harus
dapat dipegang;
ii.
Harga awal harus diketahui;
iii.
Serah terima harus dilakukan sebelum
berpisah, yaitu pada jual beli yang ada di tempat;
iv.
Terpenuhi syarat penerimaan;
v.
Harus seimbang ukuran dalam timbangan;
vi.
Barang yang diperjual belikan sudah
menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu tidak boleh menjua barang yang masih
berada ditangan penjualnya.
c.
Syarat Terlaksananya Akad
Syarat terlaksananya akad sebagai
berikut:
1.Benda
dimiliki pleh ‘aqid (berkuasa untuk
akad).
2.Pada
benda tidak terdapat milik orang lain. Oleh sebab itu, tidak boleh menjual
barang sewaan dan barang gadaian karena barang tersebut bukan miliknya sendiri,
kecuali diizikan oleh pemilik sebenarny, yakni jual beli yang di tangguhkan.
Berdasarkan syarat terlaksananya akad,
jual beli terbagi menjadi dua,yaitu jual beli nafaz dan jual beli mauquf.
a.
Jual beli nafaz
Jual
beli nafaz adlah jual beli yang
dilakukan seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun jual beli sehingga jual
belitersebut dikategorikan sah.
b.Jual
beli mauquf
Jual
beli mauquf adalah jual beli yang
dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi nafaz,
yakni bukan milik dan kuasa melakukan akad, seperti jual beli fudul (jual beli milik orang lain tanpa
adnya izin). Jika pemilik mengizikan maka jual beli fudul dipandang sah. Sebaliknya, jika pemilik tida mengizinkan,
dipandang batal. Para ulama berbeda pendapat
dalam jual beli fudul ini.
d. Syarat
Kepastian
Syarat kepastian hanya ada satu, yaitu akad
jual bei harus terlepas atau bebas dari khiar
(pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang melakukan akad dan
menyebabkan batalnya akad.
1.Akad
dan tulisan
Jual
beli dinyatakan sah apabila dilakukan dengan ijab kabul (dengan bahasa lisan).juga dengan mengunakan
tulisan,dengan syarat penjual dan pembeli berada dalam tempat berjauhan.karena
ucapan sebagai bukti akad yang paling jelas,tidak dapat digantikan apapun
kecuali jika terdapat alas an kuat yang bias memalingkan ucapan ke bentuk yang
lain. Dalam akad dengan tulisan , disyaratkan agar pihak yang menerima tulisan
memberikan persetujuan di tempat, dimana tulisan tersebut dibacakannya.[12]
2.Akad
dengan perantara orang lain
Selain
sah dilakukan secara lisan dan tulisan, akad jual beli juga dinyatakan sah
melalui perantara utusan dari salah satu pihak yang bertransaksi, dengan syarat
pihak yang menerima langsung setelah berita disamapikan oleh si perantara.
Dengan demikian, kapan saja terjadi persetujuan dalam dua bentuk transaksi diatas,
maka transaksi jual-beli sudah sempurna, dan tidak perlu di tunggu hingga pihak
yang mengurus tahu jawaban dari pihak yang lain.[13]
3.Akad
bagi orang bisu
Akad
jual-beli bagi orang bisu dinyatakan sah dengan isyarat yang bisa adimengerti
karena isyarat orang yang bisu untuk mengungkapkan sesuatu setara dengan ucapan
lisan. Orang bisu juga boleh melakukan akad dengan tulisan sebagai ganti dari
isyarat, jika ia mampu menulis. Adapun sebagian ulama yang mensyaratkan
kata-kata tertentu dalam membuat akad, mereka tidak mendapatkan dalil, baik
dalam Al-Qur’an maupun sunah.[14]
D. Jual Beli yang Dilarang
Jual beli yang dilarang dalam Islam
sangat banyak. Berikut ini dijelaskan sebab-sebab terlarangnya jual beli
menurut Wahbah al-Zuhaili.
a.
Terlarang Sebab Ahliah
Orang yang dilarang melakukan
transaksi jual beli karena sebab ahliah adalah:
1.Orang
gila,
2.Anak
kecil,
3.Orang
buta,
4.Fudul,
5.Orang
yang terlarang (halangan itu dapat berupa kebodohan, kbangkrutan, dan
penyakit),
6.Orang
yang sedang dalam bahaya, yakni menghindar dari perbuatan dzalim (jual beli malja’).
b.
Terlarang Sebab Sigat
Ulama fiqih telah sepakat bahwa jual
beli yang didasarkan pada keridoan antara pihak yang melakukan akad, ada
kesesuaian antara ijab dan Kabul,
berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah adalah sah.
Sebaliknya, jual beli yang tidak
memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah atau masih diperselisihkan para ulama, seperti
macam-macam jual beli berikut.
1.Jual
beli mu’tah adlah jual beli yang
sudah disepakati oleh pihak yang melakukan akd berkenaan dengan barang dn
harganya, tetapi tidak memakai ijab Kabul.
2.Jual
beli melalui utusan atua surat.
Jual beli semacam ini sah selama surat
atau utusan itu sampai pada tujuan. Apabila terjadi sebaliknya, jual beli tidak
sah.
3.Jual
beli dengan melalui isyarat atau lisan selama bisa dibaca dan dimengerti. Jika
terjadi sebalaiknya, jual beli semacam ini dinyatakan tidak sah, misalnya
tulisannya tidak terbaca atau isyaratnya tidak dimengerti.
4.Jual
beli barang yang tidak ada di tempat
5.Jual
beli yang tidak sesuai dengan ijab Kabul.
6.Jual
beli munjiz (jua beli yang
ditangguhkan).
c.
Terhalang Sebab Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad)
Ma’qud ‘alaih
adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang berakad, bias
disebut dengan istilah mabi’ (barang
jualan), seperti:
1.Jual
beli barang yang dikhawatirkan tidak ada barangnya.
2.Jual
beli barang yang tidak dapat diserahkan barangnya.
3.Jual
beli garar (tipuan) adlah jual belli
yang mengandung kesamaran.
4.Jual
beli barang yang najis dan terkena najis.
5.Jual
beli air (mazhab Zahiriah da yang lain tidak mengharamkannya).
6.Jual
beli barang yang tidak jelas (majhul).
7.Jual
beli barang yang tida ada di tempatnya (gaib).
8.Jual
beli sesuatu yang belum depegang.
9.Jual
beli buah-buahan atau tumbuhan yang belum jelas buahnya.
d.
Terlarang Sebab Syarak
Jual
beli barang yang terlarang sebab syarak meliputi:
1.Jual
beli riba’.
2.Jual
beli uang dengan binatang yang diharamkan.
3.Jual
beli barang yang diperoleh dengan cara merampas atau memalak dijalan.
4.Jual
beli sperma hewan jantan dengan cara mencampurkan hewan tersebut dengan hewan
betina.
5.Jual
beli anggur untuk dipakai khamar.
6.Jual
beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain.
7.Jual
beli bersyarat.
E. Sebab Tidak Sah Jual Beli
a. Ketidak
jelasan (jahalah)
Yang
dimaksud disini adalah ketidak jelasan yang serius yang memdatangkan
perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidak jelasan ini memiliki empat
macam, yaitu:
1.Ketidak
jelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya, atau kadarnya
menurutpandangan pembeli.
2.Ketidak
jelasan harga
3.Ketidak
jelasan masa (tempo), seperti dalam harga yang diangsur, atau dalam khiyar
syarat.
4.Ketidak
jelasaan dalam langkah-langkah penjaminan. Misalnya penjual mensyaratkan di
ajukannya seorang kafil (penjamin).
Dalam hal ii penjamin terebut harus jelas.[15]
b. Pemaksaan
(al-Ikhrah)
Pengertian
pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipaksa) untuk melakukan sesuatu
pperbuatan yang tidak disukainya. Pemaksaan ini ada dua macam:
1.Pemaksaan
absolute, yyaitu pemaksaan dengan ancaman sangat berat, seperti akn dibunuh.
2.Paksaaan
relative, yaitu paksaan yang ancaman yang lebih ringan, seperti dipukul.
c. Pembatasan
dengan Waktu (at-Tauqit)
Yaitu
jual beli yang dibatasi waktun. Seprti: “saya
jual baju ini kepadamu untuk selama satu bulan saja”.
d. Penipuan
(al-Gharar)
Yang
dimaksud penipuan disini adalah penipuan sifat barang.
e. Kemudaratan
(adh- Dharar)
Kemudoratan
ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual tidak mungkin dilakukan kecuali dengan
memasukan kemudoraatan kepada penjual, dalam barang selain objek akad.
f. Syarat
yang Merusak
Yaitu
setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi,
tetapi syarat tersebut tidak adalam syar’ dan adat kebiasaan, atautidak di
kehendaki oleh akad, atau tidak selaras dengan tujuan akad.[16]
F. Pengertian Al-Qadabh (serah terima barang)
Qabdhu
(serah terima) atas barang yang tidak bergerak adalah dengan cara penjual
menggugurkan hak kepemiliknya dan membiarkan pembeli sebagai pemilik yang baru
untuk memanfaatkannya, seperi untuk bercocok tanam, menempati rumah, berteduh
di bawah pohon atau mengambil buahnya dan sebagainya.
Adapun serah terima barang yang
bergerak, seperti makanan pakaian, binatang, dan lainnya adalah dengan cara
berikut;
a. jika
dapat diukur dengan takaran atau timbangan ,maka barang tersebut mesti diukur
secara sempurna dengannya.
b. jika
itu termasuk barang yang dijual dengan taksiran (bukan ditakar atai ditimbang),
yaitu cukup dengan cara memindahkannya ke tempat yang lain.
Selain kedua
kategori diatas, maka bentuk serah terima disesuaikan dengan kebiasaan yang
berlaku.[17]
G. Hikmah Larangan Jual Beli Barang sebelum
Menerimanya dari Orang Lain.
Hikmahnya adalah jika seorang
menjual barang, maka barang tersebut masih berada salam tanggungan sebelum
diterima oleh pembeli. Apabila terdapat kerusakan, maka sepenuhnya menjadi
tanggungan dan kerugian penjual, bukan pembeli. Maka, apabilampembeli menjual
barang yangt masih dalam tanggungan penjual kemudian ia mendapatkan keuntungan
maka keuntungan tersebut berasal dari penjualan barang yang belum menjadi
tanggungannya. Terkait dengan ini, Ash-habus
Sunan[18]
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Melarang menjual barang yang tidak menjadi tanggungan si
penjual. Dan karena pembeli yang menjual kembali barang yang dibelinya sebelum
menerimanya ia menyerupai orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada pihak
lain untuk mendapatkan harta serupa yang lebih banyak. Hanya saja dalam konteks
ini, ia menyisipkan jual beli barang dalam mewujudkan maksudnya. Bentuk
transaksi tersebut menyerupai transaksi riba’.[19]
H. Anjuran dan Larangan Dalam Jual
Beli
a.
Mengambil persaksian atas akad jual beli
Allah
memerintahkan untuk mengambil saksi dalam akad jual beli, sebagaimana yang di
jelaskan dalam firman-Nya, “Dan bersaksikanlah
jika kamu melakukan jual beli,dan janganlah penulis dan saksi saling merugikan
satu sama lain.” (Al-Baqoroh.282).
Perintah
dalam ayat tersebut menunjukkan hukum sunnah dan arahan melakukan sesuatu yang
mengandung kebaikkan, bukan perintah yang berarti wajib sebagaimana dikatakan
oleh sebagian ulama.
Al
Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur’an menuliskan bahwa mayoritas alhi fiqih
bersepakat bahwa perintah untuk menuliskan akad, pengambilan sakasi dalam
jualbeli dan pemberian rahn (gadai sebagai jaminanan) yang di sebutkan dalam surat al Baqarah ayat 282-283 hukumnya adalah
sunnah.[20]
b.
Penambahan harga sebagai kompensasi atas
penambahan masa pembayaran
Jual
beli boleh dilakukan dengan pembayaran harga secara tunai. Juga dibolehkan
dengan pembayaran harga yang ditangguhkan dalam tempo tertentu. Sebagaimana
juga dibolehkan sebagian harga dibayarkan secara tunai dan sisanya ditangguhkan,
selama hal itu dilakukan dengan unsur saling ridho dan kesepakatan antara kedua
belah pihak. Pendapat ini disampaikan oleh para pengikut mazhab Hanafi,
Syafi’i, Zaid bin Ali, Muayyad Billah dan mayoritas ahli fiqih, bedasarkan
keumuman dalil yang membolehkan jual beli.[21]
c.
Jual beli orang yang dipaksa
Mayoritas
ahli fiqih memberlakukan syarat bahwa akda jual beli yang dilakukan seseorang
harus atas kehendak sendiri. Jika ia dipaksa untuk menjual barang miliknya,
maka jual beli tersebut tidak sah. Hal ini disebutkan dalam surat An-Nisa’:
29 yang artinya “sesungguhnya, jual beli
hanyalah berdasarkan rasa saling ridho.”
Abdurrahman
bin Ka’b berkata, “dahulu, Muadz bin Jabal adalah seorang pemuda yang sangat
dermawan. Ia tidak memiliki harta apapun, tetapi masih saja tangannya terbuka
lebar hingga utangnya banyak bertumpuk. Kemudian menghadap Rasulullah saw agar
beliau bersedia berbicara kepada orang-orang yang memberinya utang. Jika para
pemilik piutang agar menggugurkan utang seseorang, tentulah mereka akan melakukan
Mu’adz, karena kedudukan Rasulullah namun rasulullah tidak menyetujui
permohonan Mu’adz. Beliau justru menjual semua harat Mu’adz untuk membayar
semua utangnya hingga dia hidup tidak memiliki harta apapun.
d.
Jual beli karena kondisi darurat
Terkadang,
kondisi memaksa seseorang untuk menjual harta miliknya untuk membayar utang
atau memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kondisi tersebut menuntutnya
utnuk menjual hartanya dengan harga sangat murah. Jual beli seperti sah
dibenarkan, hanya saja hukumnya makruh. Setelah terjadi, akad tidak boleh
dibatalkan. Dalam kasus seperti ini, syariat islam mengajurkan untuk memberikan
bantuan atau pinjaman pada orang yang sedang mendapat kesulitan hingga ia
terbebas dari kesusahan yang melilitnya.
e.
Jual beli dengan pura-pura
Jika
seseorang khawatir terhadap kedzaliman seseorang atas hartanya, lalu ia pura-pura
menjualnya untuk menghindari kedzaliman dengan melakukan transaksi akad jual
beli yang terpenuhi syarat maupun rukunya, maka transaksi tersebut tidak sah.
Sebab, kedua pihak yang melakukan akad tidak bermaksud untuk melakukan jual
beli. Keduanya hanya berpura-pura. Ada
yang berpendapat bahwa akad tersebut sah, karena telah terpenuhi syarat dan
rukunnya. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa jual beli yang dilakukan dengan
pura-pura tidak dibenarkan atau tidak sah.
Abu
Hanifah dan Syafi’I berpendapat bahwa jual beli tersebut sah, karena rukun dan
syaratnya telah terpenuhi dengan lengkap dan tidak terdapat hal yang
merusaknya.
f.
Jual Beli dengan Mengecualikan Barang
yang Diketahui.
Seseorng
boleh menjual sejumlah barang dengan mengecualikan sebagian tertentu yang
diketahui. Contohnya seperti melakukan jualm beli pepohonan dengan
mengecualikan sebatang diantaranya, atau seperti menjual beberapa rumah dengan
pengecualikan satu rumah tertentu, atau menjual sebidang tanah dengan
pengecualian sebagiannya yang ditentukan yang diketahui oleh pembeli. Dalam
sebuah riwayat dari Jabir, Rosulullah saw. melarang muhaqalah, muzabanah[22] dan akad jual beli dengan pengecualian,
kecuali apabila ditentukan dan diketahui. Jika barang yang dikecualikan tidak
diketahui dengan jelas, maka akad jual beli tidak sah karena mengandung unsur
ketidaktahuan dan penipuan.
g.
Menyempurnakan timbangan dan takaran
Allah
memerintahkan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan dalm jual beli melalui
mfirman dalam surat
al-An’am 152 dan al –isra’ ayat 35.
Disamping itu Allah juga melarang mempermainkan atau beerlaku curang dalam
takaran dan timbangan dalam firmannya “
celaka benar, bagi orang-orang yang kurang ( yaitu) oran-orang yang dekat yang
apabila meneriama takaran dari orang lain, mereka meminta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, merek mengurangi. Tidaklah
orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitakan, pada
suatu hari yang besar yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap tuhan semesta alam.” (Al-Muthafifin: 1-6)
h.
Larangan membeli barang rampasan dan
curian
Diharamkan
atas setiap muslim membeli barang yang diyakininya sebagai hasil rampasan atau
diambil dari pemiliknya dengan cara yang tidak benar. Karena pengambilan barang
dengan cara haram tidak bias memindahkan kepemilikan barang tersebut kepada
orang lain, sehingga membelinya dianggap membeli barang yang tidak dimiliki
oleh si penjual.
i.
Jual beli ketika adzan jum’at
Jual
beli yang dilakukan pada waktu shalat sudah habis dan ketika adzan jum’at
berkumandang, hukumnya haram menurut pendapat Imam Ahmad.[23]
Berdasarkan firman Allah, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik dari jika kamu mengetahui.” (Al-Jum’ah: 9)
Larangan dalam
ayat tersebut mengandung makna bahwa yang dilarangan yaitu jual beli ketika
adzan Jum’at adalah perbuatan baril. Kemudian adzan shalat-shalat yang lain
bias diqiyaskan padanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa mekanisme jual beli sudah
ada rambu-rambu yang mengaturnya, baik ditilik dari segi syara’ maupun
ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang mana ketika kita telah mengetahui
rambu-rambunya maka sudah sepatutnya untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazzairi, Jabir dan Abu Bakar. 2009. Ensiklopedi Muslim. Bekasi: PT. Darul
Falah.
Fikri, Ali. 1357. Al-Muamalat Al Maddiyah wa Al-Adabiyah. Mesir: Musthafa Al-Babiy
Al-Halabiy.
Habib, Imam A.H. 2001. Nasehat Agama dan Wasiat Iman. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang.
Muchlis, Ahmad Wardi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah.
Muhammad Ar-Ramli, Syamsudin. 2004. Nihayah Al-Muhtaj. Beirut: Dar Al-Fikr.
Rifa’i, M. 1978. Fiqih
Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.
Rizal, Qosim. 2008. Penhgamalan Fiqih. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sabiq, Sayid. 1981, Fiqih As-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr. cet. III.
Sabid, Sayid. 2008. Fiqih Sunnah. Jakarta: Al-I’tishom Anggota IKAPI.
Sabiq, Sayid . 2010, Fiqih Sunnah. Jakarta Timur: Al-I’tishom.
Sulaiman, Rasyid. 2009. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset Bandung.
Zuhaili, Wahab. 1998. Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh. Damaskus: Dar Al-fikr.
.
[1]
Wahab Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa
Adillatuh, Juz 4, (Damaskus: Dar Al-fikr, 1998), hlm. 344 Pengertian yang sama dikemukakan oleh Ali
Fikri, Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli’ dan ulama-ulam yang lain. Lihat Ali fikri,
Al-Muamalat Al Maddiyah wa Al-Adabiyah, Musthafa
Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir, 1357, hlm. 8; Lihat juga: Syamsudin Muhammad
Ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, Juz 3, Dar
Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 372
[3]Ali
Fikri, op.cit., hlm. 9
[4]
Ibid., hlm. 10
[5]
Ibid., hlm. 11
[6]
Syamsuddin Muhammad Ar- Ramli, op. cit.,
juz 3, hlm. 372
[7]
. Qosm M. rizal, Penamalan Fiqih, (Solo:
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), hlm. 101
[8]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, ,(Jakarta
Timur: Al-I’tishom, 2010), hlm. 265
[9]
Wahab Zuhaili, op. cit., juz 4, hlm.
347
[10]
Ahmad Wardi Muchlis, Fiqih Muamalah,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 191-192
[11]
Ibid.,
hlm. 187
[12]
Ibid., hlm. 190
[13] Ibid., hlm. 266
[14] Ibid., hlm. 266
[15] Ibid., hlm.
379-380
[16]
Ahmad Wardi Muchlis, Fiqih Muamalah,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 191-192
[17]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, (Jakarta
Timur: Al-I’tishom, 2010), hlm. 280
[18]
Ash-habus Sunan adalah Tirmidzi, Nasa’I,abu daud, dan ibnu majah.
[19]
Ibid., hlm. 281
[20]
Ibid.,
hlm. 282
[21]
Ibid., hlm 285
[22]
Muhaqalah artinya menyerahkan tanah
kepada petani untuk dikelolah dengan imbalan sebagian dari tanah tesebut.
Sedangakan muzabanah adalah menukar
buah yang masih dipohon dengan buah yang sudah dipetik dengan kadar tertentu.
[23]
Imam yang lain membolehkannya, tetapi hukumnya makruh.